Bekal Pernikahan

13 th Anniversary


Menikah itu bukan buat gaya-gayaan, bukan buat uwu-uwuan, apalagi cuma buat sekedar pamer pasangan, pamer udah nggak jomblo lagi.

Menikah itu bukan permainan ataupun kegiatan iseng yang bisa dilakukan tanpa persiapan apapun.
Pernikahan dalam Islam bukan sembarang perjanjian, tapi “Perjanjian Agung”, perjanjian yang dalam bahasa Alquran disejajarkan dengan mitsaqan ghalidza (Perjanjian Agung) antara Allah dengan para Rasul berpredikat Ulul Azmi: Nuh, Ibrahim’ Musa, dan Isa (lihat QS. Al-Ahzab: 7) dan mitsaqan ghalidza antara Allah dengan Bani Israil yang kalau dalam Alquran diceritakan bahwa dalam melakukan perjanjian ini sampai-sampai Allah angkat Gunung Thursina di atas kepala Bani Israel (lihat QS. Al-Nisa: 154).


Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalidza, artinya pernikahan bukan perjanjian yang bisa dimain-mainkan. Memperkuat firman-Nya, Rasul bahkan sampai bersabda bahwa perbuatan yang dibolehkan tapi paling dibenci Allah adalah perceraian.


Menikah itu ibadah, bahkan ibadah yang paling lama. Karenanya menikah itu perlu bekal yang cukup. Banyak yang menikah muda, namun tidak mempersiapkan diri sebelumnya. Padahal menikah tak cukup hanya modal cinta saja. Ada tanggung jawab besar di dalamnya. Ada ego yang harus dikesampingkan. Ada istri yang harus dinafkahi. Kelak akan ada bayi-bayi mungil yang harus dirawat dengan ilmu. Namun berapa banyak pasangan muda yang sudah menyiapkan “ilmu” ini sebelum memutuskan untuk menikah?


Menikah memang indah, namun ingatlah tanggung jawab besar di dalamnya. Setelah menikah, tak bisa lagi disamakan dengan saat masih melajang. Baik suami maupun istri harus menjadikan rumah tangganya sebagai prioritas. Jangan sampai sudah menikah, tapi karena tak punya bekal, akhirnya bahtera rumah tangga jadi tak punya arah dan tujuan. Padahal suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya, dan seorang wanita juga mendapat amanah untuk mengurus rumah tangganya. Apa jadinya jika tak memiliki ilmu dalam membina rumah tangga.


Persiapan Pernikahan


Menurut ustadz Salim. A. Fillah, ada 5 hal yang harus kita persiapkan sebelum memasuki fase pernikahan :

  1. Persiapan ruhiyah (spiritual)
    Ini meliputi kesiapan kita untuk p,mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, kesediaan untuk berbagi dengan pasangan, menyingkirkan ego, serta berlapang dada.
    Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata yakni sabar dan syukur.
    Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumah tangga.
  2. Persiapan ilmiyah fikriyah (ilmu intelektual)
    Bersiaplah menata rumah tangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang ad Din, ada ilmi tentang komunikasi yang ma’ruf dengan pasangan, ada ilmu untuk menjadi orang tua yang baik (parenting), ada ilmu tentang penataan ekonomi, dan ilmu yang lainnya.
  3. Persiapan jasadiyah (fisik)
    Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya, atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis.
    Perhatikan kebersihan, panu juga harus disembuhkan.
    Perhatikan makanan yang dikonsumsi, harus halal dan thayyib.
  4. Persiapan maaliyah (material)
    Konsep awal, tugas suami adalah menafkahi bukan mencari nafkah . Nah bekerja itu keutamaan dan penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial pernikahan sama sekali tidak bicara tentang berapa banyak uang, rumah, dan kendaraan yang dimiliki. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, dan kemampuan untuk mengelola sejumlah apapun ia.
    Maka memulai pernikahan, bukan soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi. Adalah Ali bin Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus : rumah, perabot, dan lain-lain sumbangan dari kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi Ali menunjukkan diri menjadi calon suami yang kompeten, dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
    Maka sesudah kompetensi dan kehendak menafkahi apapun ia, iman menuntun : pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS. 24 : 32). Buatlah proyeksi nafkah secara ilmiah dan executable. Jangan masukkan pertolongan Allah dalam hitungan tapi bersiaplah dengan kejutan-Nya.
    Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda. J. Waite signifikan memperkuat ikatan cinta.
  5. Persiapan ijtima’iyyah (sosial)
    Artinya siap untuk bermasyarakat, paham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi, dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting memiliki visi dan misi dakwah di lingkungannya.
    Ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap terus harus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu*
  6. ******************************************
    Pesan dari Bunda Aisyah RA.
    Aisyah RA. Berkata, “Pernikahan itu perbudakan karena itu hendaklah seseorang memperhatikan di tempat mana ia lepaskan anak perempuannya.”
    Jangan salah paham menafsirkannya. Bunda Aisyah mengatakan hal yang demikian, sebab ingin memperingatkan wali untuk berhati-hati dalam menikahkan anak perempuannya.
    Saat ini begitu banyak kasus suami yang melakukan KDRT, suami yang berselingkuh, ataupun suami yang pelit dan tidak mau menafkahi anak istrinya. Untuk mencegah hal demikian terjadi, maka wanita harus lebih berhati-hati dalam memilih suami.
    Carilah suami yang sholih dan bertanggung jawab, yang akan memuliakan serta menjaga istri dan anak-anaknya.
    Setelah menikah dan dikaruniai anak-anak, terkadang seorang istri merasa kehilangan eksistensi dirinya. Hal ini disebabkan ia mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk keluarga. Apalagi merawat anak yang masih bayi atau balita tentu membutuhkan curahan perhatian dan tenaga.
    Disinilah peran seorang suami dan ayah yang sholih. Ia tidak akan membiarkan istrinya berjuang sendirian. Seorang ayah harus mendidik putra-putrinya. Seorang suami harus setia mendampingi istrinya melewati masa-masa ini bersama-sama. Karena suami adalah pemimpin rumah tangga, karena suami adalah kepala sekolah bagi pendidikan putra-putrinya.
    Wallahu’alam bisshawab

Trims atas komentarnya ^^. Pasti saya baca dan insya Allah akan saya balas. Makasih atas kunjungannya ke Rumah Samara ^^